Only Last Bab 1

halo semuanya!! apa kabar? sudah lama saya tak posting sesuatu kali ini iseng-iseng saya akan posting novel karya saya (meskipun tak bermutu).
anyway silakan di nikmati...
Only Last


Catatan :
*chang sang, merupakan pakaian yang dikenakan kaum lelaki pada zaman dinasti Qing
* niang sebutan ibu pada masa itu
*Aisin Gioro, merupakan nama keluarga kekaisaran dinasti  Qing
*sing li = memberi hormat
*kow tou = bersujud dengan kepala membentur tanah/lantai
*gong zhi = tuan muda panggilan yang mirip (tn, bpk) biasanya untuk memanggil secara sopan pada anak dari keluarga kaya maupun terhormat.misalnya Lee gong zhi
*jie jie = kakak perempuan

Only Last
Bab 1
 “sudah berapa kali aku harus mengatakannya padamu? Tidak pantas seorang gadis keluarga bangsawan berkeliaran di jalannan” nasehat seorang wanita padaku, wanita itu itu adalah ibundaku yang cerewet..
“tapi ibunda.. aku ingin membeli sesuatu”
“kalau kau ingin membeli sesuatu tinggal katakan pada Yu Tang” dan ia pun keluar dari kamarku.
Aku menghela nafas kesal, kesal kenapa aku lahir pada zaman ini. Zaman dimana semua orang masih berpikiran kuno, dan tradisional. Hak-hak perempuan sama sekali tidak diakui, apalagi kami, para gadis bangsawan, ada yang dipilih masuk ke istana menjadi selir kaisar, ada juga pernikahan yang telah ditentukan oleh kaisar. Aku selalu mempertanyakan ketidakadilan ini, tapi semua yang kupertanyakan tidak aka nada jawababnya.
“Nona!” seru sebuah suara lantang yang menghentikan keluh kesahku dalam hati.
Aku menoleh melihat siapa yang berteriak begitu lantangnya. Ternyata yang masuk adalah Yu Tang, pelayan sekaligus teman masa kecilku. Aku menatap kearahnya, memperhatikan ekspresi wajahnya, ia terlihat sangat senang, aku bertanya padanya
“ada apa? Kenapa kau terlihat begitu senang? Apakh orang itu sudah pergi?”
“yap! Sepertinya kepala pelayan sedang ke kamar kecil sebentar, kita harus cepat bertindak”
“baiklah! Yu Tang sediakan pakaianku! Aku berdiri dari tempat dudukku tadi, diikuti Yu Tang menutup pintu. Aku berjalan memasuki ruangan dalam. Yu Tang mengikutiku dibelakang, dia lalu mmebuka lemari pakaian yang terletak di sebelah kanan dari ranjang. Ia mengambil *chang sang      dari dalam lemari. Lalu membantuku mengenakannya.
∞∞∞∞∞
Aku sudah berganti baju dan mengenakan topi layaknya seorang lelaki zaman ini, aku, Yu Tang berjalan mengendap-endap menelusuri lorong penyambung rumah utama dengan pintu depan, sekelilingnya adalah taman kesayangan  ayah, ayah sangat bangga akan taman ini setiap tamu yang datang berkunjung selalu diperlihatkannya taman ini. Aku berjalan sambil memandang sekeliling demi berjaga-jaga apabila ketahuan bisa langsung berlari sekencang-kencangnya. Tapi tiba-tiba saja Yu Tang berhenti dan menubrukku yang sedang memperhatikan sekeliling. Ia berbisik  padaku
“nona, sepertinya sudah aman, tidak perlu beraktraksi monyet lagi”
“benarkah?”
aku berdiri tegak, kemudian berjalan terang-terangan  seperti biasanya, sementara Yu Tang mengamati keadaan dibelakangnya. Baru berjalan beberapa langkah saja , di depanku, bukan, lebih tepatnya beberapa langkah jauhnya, lusinan pelayan yang mengikuti *niang-ku akan berjalan menuju tempat kami berada. Panik bercampur takut aku segera menarik Yu Tang yang lagi dengan dungunya mengamati kelompok itu, kami segera bersembunyi diantara tumbuhan dedaunan yang lebat. Hatiku berdetak keras seperti ratusan bahkan ribuan buah pala berjatuhan setiap detiknya. Sekelompok itu mulai melewati tempat persembunyian kami, setelah mereka melewati persembunyian kami, kami bernafas lega. Untunglah dewa masih menyayangi kami. Sekali lagi aku berjalan mengendap-endap di lorong, tapi kali ini dengan lebih berhati-hati lagi. Rasanya lama sekali, kalau biasanya aku melewati lorong ini terasa begitu cepat tapi kali ini rasanya sangat lama sampai-sampai aku mulai berkeringat. Akhirnya, setelah bersusah-susah kami tiba pada gerbang pintu depan. Aku berhenti dan berbalik menghadap Yu Tang
“Yu Tang, kau tidak perlu mengikutiku lagi, kembalilah sekarang”
“baik, tapi nona jangan lupa, janjimu padaku ya!”
“iya mengerti” ujuarku sedikit malas, lalu aku melangkah melewati pintu depan yang tinggi dan kokoh ini.
“TUNGGU!!?” teriak seseorang diarah belakangku. Aku menoleh memperhatikan siapa yang berteriak begitu kerasnya. Dia adalah seorang pria tua berpostur pendek, dengan kepangan rambut yang dililitkan dikepalanya, dia adalah kepala pelayan rumahku, lao zeng. Dari kejauhan dia terus berteriak dan berlari kearahku.
“nona, cepatlah pergi, aku akan menanganginya!” seru Yu Tang
Aku segera berlari sekencang-kencangnya keluar dari rumah megah yang kutinggali seumur hidup ini, sementara itu Yu Tang menghalang-halangi lao zeng.


∞∞∞∞∞

Aku sudah berada diluar gedung, masuh terus berlari dan lao zeng masih terus mengejarku. Mungkin Yu Tang berhasil dirobohkannya, pikirku. Sesekali aku menoleh kebelakang menyaksikan apakah kepala pelayan rumah kami ini masih mengejarku.
“hei!.... tung…tunggu!” teriak lao zeng terputus-putus
Seperti orang gila, aku semakin mempercepat keceepatan, aku semakin panic, sebuah akal licik terlintas begitu saja. Aku pun mulai berteriak di tengah-tengah keramaian kota Beijing ini.
“tolong! Tolong! Orang ini ingin menjualku!!”  berulang-ulang hingga orang-orang disekitarku memandang kami. Tapi sayangnya tidak ada satu pun orang yang turun tangan tangan membantuku. Benar-benar sekumpulan orang tidak bermoral, Beijing sudah berubah menjadi kota busuk berisi orang-orang jijik. Karena terus memperhatikan sekeliling aku tidak sempat memandang kedepan, alhasil ketika aku berpaling menghadap kedepan, di depanku sudah berdiri seorang pemuda dengan gerobak yang mengangkut beberapa karung beras siap melintas dihadapanku.
“MINGGIR!?!” si kurir meneriakiku
Terlambat sudah, kini aku terjatuh ditanah, lututku berdarah serasa robek, aku sudah tidak peduli lagi yang ada dalam pikiranku hanyalah kabur secepatnya dari tempat ini. Aku mencoba berdiri dan berusaha keluar dari lusinan orang yang mengelilingiku, sia-sia saja usahaku. Semakin aku berusaha  semakin banyak orang-orang berdatangan menghalangiku hingga seseorang menarik lenganku, aku bersiap akan memarahinya, ketika kutatap siapa orang itu, aku terbelalak kaget, lao zeng sudah berdiri didepanku, dialah yang meraih lenganku. Aku berusaha melepaskan cenkramannya, dia memperketat sampai aku kesakitan.
“mari kita pulang, nona” ujar lao zeng menarikku  pergi.
Aku terjatuh, saat lao zeng akan mendatangiku, seorang pemuda berpakaian chang sang warna ungu mendatangiku. Sekilas aku melihat wajahnya. Kulit yang putih, dihiasi hidung mancung bibir merah muda pucat, mata sipit setajam cakar elang membuatnya terkesan berwibawa, sesosok lelaki yang bagaikan lukisan. Pemuda itu memegang pergelangan tangan lao zeng. Lao zeng yang tidak mengenalnya pun bertanya apa maunya. Pemuda itu menatapnya sinis,
“kau tak bermoral, perbuatanmu sungguh rendah! Bagaimana bisa bangsa yang terhormat ini memiliki rakyat sepertimu, kau telah menodai nama bangsa!”
Dihina seperti itu tentu saja membuat lao zeng murka, dia bersiap akan melayangkan tinjunya pada wajah pemuda itu, dengan sigap pemuda itu menahannya serta membalas pukulannya tepat di bagian perut lao zeng, alhasil lao zeng terjatuh ketanah merintih kesakitan seraya memegangi bagian perutnya.
Pemuda itu menarik tanganku, dia mengajakku segera melarikan diri. Tanpa berkata apapun lagi, aku segera mengikutinya.. dia membawaku menjauhi keramaian kota menelusuri sungai. Napasku mulai tidak beraturan keringat bercucuran membasahi wajah bulat telurku begitu pula hal yang sama terjadi pada pemuda itu.
“ber..henti…!” ujarku masih dengan nafas tersengal-sengal.
Pemuda itu berhenti seketika dan jatuh terduduk diatas tanah. Aku mengikutinya lalu menarik napas panjang, kami saling memandang agak lama, akhirnya kami saling tertawa lepas. pemuda itu menungginkan senyumnya yang khas, senyum yang menawan, kedua pipinya tersembunyi lesung pipi yang membuatnya bertambah menarik. Ia berubah menjadi sangat serius bertanya padaku
“salam kenal, bolehkah kutahu nama gong zhi ini?”
“Tentu saja, namaku Chen Fu….” Aku membisu tidak tahu kalimat tepat untuk menyambungnya, sebab tidak memungkinkan aku mengatakan nama asliku, bisa ketahuan aku bukanlah seorang jantan. Kulihat pemuda itu menatapku penasaran, alisnya turun naik seolah mempertanyakan kebisuanku. Aku memutar otakku lebih cepat dari biasanya, memilih-milih kata yang sesuai untuk mengisi kalimat terputus tadi. Aku teringat perkataan Yu Tang semalam ketika kami menyaksikan bintang bersama, sebuah kata keluar begitu saja dari benakku. Segera aku menjawab pertanyaan terputus tadi dengan senyuman
“namaku Chen Fu Xin, Fu Xin”
“hmmm. Nama yang agak tidak wajar.. bagaimanapun juga lebih baik daripada tidak bernama. Kau memberi namamu aku juga akan member tahu namaku,  Namaku Aisin Gioro Ming Guo”
“APA!?” aku terbelalak kaget mendengar nama pemuda itu. Bagaimana tidak, dia memiliki nama PUTERA MAHKOTA negeri ini. “ah, pasti dia bercanda” batinku tidak percaya.
“hentikan lelucon tidak lucu ini, ini bukan lelucon yang baik” kataku dengan nada meremehkan
“tidak. Aku serius” Ming Guo menatapku dengan tatapan sungguh-sungguh.
Melihat mimic wajahnya tidak berubah sama sekali, aku mulai ketakutan, aku buru-buru melakukan *sing li, kedua tanganku dirapatkan kesamping, kakiku disilangkan dan ditekut. Hal ini membuatnya menatapku terheran-heran.
“apa yang kau lakukan?” Tanya Ming Guo mengernyitkan alis.
Aku menjawabnya dengan polos
“tentu saja member hormat, Yang Mulia”
“tapi.. caramu menghormat, apa kau tidak merasa janggal? kau memberi hormat secara femini, itu cara salah, bukankah begitu?”
“ah.. “ aku membenarkan posisiku, menjadi berlutut dan melakukan *kow tou di hadapannya.
“10000 tahun usia, kudoakan Yang Mulia” lanjutku masih dengan posisi *kow tou
Putra Langit dihadapanku menyuruhku berdiri, aku pun mengikuti perintahnya. Aku berdiri kaku dengan kepala tertunduk tidak berani menatapnya mengingat kelancanganku tadi, Meremehkan omongannya.
“Fu Xin kau tidak perlu begitu formal padaku, aku pergi dari kota terlarang bukan untuk bertugas, tapi untuk bersenang-senang. Jadi anggaplah aku sahabat barumu”
“ba..baiklah, Yang Mu….” Kataku terputus, Ming Guo melotot padaku seolah ingin mengatakan padaku “sudah kukatakan jangan bersikap formal padaku!” aku meralat ucapanku.
“Baik! Sa…sa…sahabatku” aku merasa gugup ketika mengucapkannya
“bagus-bagus” ia ketawa geli melihat kegugupanku.
Ia merangkul pundakku, aku sangat terkejut. Belum pernah aku di sentuk seorang lelaki, kecuali ayahku, apalagi adat melarang pria menyentuh wanita sebelum menikah, tentu wanita  penghibur tidak termasuk ke dalamnya. Aku melepaskan rangkulman tangannya dari pundakku, dia memandangku dengan pandangan heran. Mungkin dalam pikirannya aku adalah lelaki terjanggal yang pernah ditemuinya seumur hidupnya. Melihat sorot mata janggalnya, sekali lagi aku mengurungkan niatku, membiarkannya merangkulku. Kami mulai berjalan keluar dari hutan menelusuri jalan setapak dimusim bunga bertaburan bagai karpet penyambut untuk kami berdua. Ia menanyakan perihal peristiwa tadi, aku berbohong padanya bahwa itu adalah ayah tiriku sesosok yang membenciku, bahkan tidak mengizikan aku menyantap makanan layak dengan nada sedih diiringi isak tangis tersedu-sedu.
Ming Guo memperhatikan dengan prihatin, ia menepuk-nepuk pundakku mungkin bermaksud menghiburku, tapi tepukannya begitu keras sehingga terasa sakit aku berusaha menahannya. Sejenak pandangannya berubah serius matanya berapi-api
“tidak akan ku maafkan orang seperti itu! Akan ku hukum dengan hukuman terkejam dan terberat” nada bicaranya meninggi tangan kirinya terkepal
Aku bisa merasakan amarahnya, begitu berkobar-kobar dari nada bicaranya bisa dirasakan ketegasannya, tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan aku segera berkomentar
“ti..tidak perlu!? Ah.. maksudku demi *niang dan adik-adiku yang masih kecil, aku tidak ingin keluarga kami tidak berayah. Kasihanilah *niang dan adik-adiku… Yang Mulia…” aku membujuknya diiringi mimic wajah sedih. Ia masih mengabaikanku, berusaha menyeretku menuju kantor perkara setempat. Aku berlutut dihadapannya memohon seraya *kow tou, Ming Guo akhirnya melunak, dia tidak jadi membawaku ke kantor perkara setempat. Kami melanjutkan perjalannan, suasana menjadi hening tidak ada dialog antara dirinya dan aku hanya bunyi angin musim semi yang terus bertiup menerbangkan kelopak bunga.
“anu…. Te…teman apa kamu perlu beristirahat?” tanya aku memulai percakapan, agak canggung
 “ah.. yah.. sebentarlagi akan tiba di gerbang timur” Ming Guo menjawab dengan canggung juga.
Saat kami melewati tanah kosong di pinggiran jalan setapak, sekelompok *gong zhi berpakaian terbuat dari sutra beraneka ragam sedang bertanding berkuda. Aku menatapnya penuh minat dan dia balik mentapku. Sepertinya kami memiliki maksud yang sama melalui tatapan itu. Kami bersama-sama menghampiri para *gong zhi . mereka berjumlah 6 orang memiliki postur yang berbeda-beda, kuda-kuda yang bagus juga.
“bolehkah kami ikut bergabung?” tanya Ming Guo penuh semangat pada para *gong zhi
“tentu saja. Teman berminat sama tentu  kami akan menerima dengan senang hati” ujar salah seorang dari kelompok mereka, ia berpenampilan jakung, dan gagah.
Lelaki itu meminjamkan 2 ekor kuda pada kami, seekor yang berwarna putih dan seekor lagi berwarna cokelat tua. Ming Guo mengelus kuda berwarna putih dengan penuh kasih sayang, lalu dengan sekali hempasan Ming Guo telah berada di atas pundak kuda putih tersebut, aku mengikutinya menunggang kuda warna cokelat tua, tapi terasa agak kesulitan karena tubuhku tidak lebih tinggi darinya. Biasanya, ketika aku, jie-jie dan ayah berkuda bersama selalu ada seorang pelayan yang bertugas menjadi bahan pijakan sehingga aku dapat menaiki kuda tersebut lebih mudah. Kali ini berbeda, dengan segenap kemampuanku aku berusaha menunggangi kuda itu. Alhasil setelah agak lama barulah aku berada di atas kuda tersebut.
Aku memberi aba-aba agar kuda itu maju pada beberapa langkah mengikuti kuda lainnya yang telah menunggu.aku menarik kekang kuda kebelakang secara ringan, semua peserta juga melakukan hal demikian. Semula posisis kami masih sejajar, namun kemudian berubah, Ming Guo dan pemuda yang meminjamkan kuda tadi mengungguli pertandingan, aku yang tidak mau kalah mencambuk kuda tersebut. Kuda itu berlari lebih cepat sehingga posisiku sekarang sejajar dengan keduanya.
“kau berbakat juga” kata Ming Guo padaku dengan senyumam
Entah harus bersyukur atau tudak mendengar kata sanjungan itu, sanjungan yang keluar dari mulut seorang Putera Mahkota. Memang beruntung aku terlahir dari bangsa yang menyayangi kuda, ditambah lagi ayahandaku seorang wakil jenderal yang  terampil dalam hal berkuda. Sejak kecil aku dan jie-jie sudah diajarkan cara berkuda yang baik. Tapi semua itu tidak berimbang dengan pengorbanan kebebasanku.
Suara kuda membuyarkan lamunanku, aku menatap Ming Guo lekat-lekat, wajah seriusnya begitu memukau, diiringi beberapa tetes keringat membasahi wajahnya. Sungguh, hatiku berdesir keras, pipiku mulai merona.
“hei! Apa yang terjadi pada diriku? Apa aku mulai tak waras?” tanyaku dalam hati. Tidak tahu kenapa aku merasakan getaran janggal membanjiri hatiku saat memandang Ming Guo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FAKTA KECANTIKAN SELIR KAISAR CHINA

NOVEL THE LEGEND OF ZHEN HUAN BAGIAN 1 : PEMILIHAN (ATAS)

PREVIEW C-DRAMA (MAINLAND)